- BeTha -

Kamis, 01 Desember 2011

ELOK ENGGAN BICARA

Sore ini aku ditemani oleh nestapa. Ia membelengguku karena kabar tak sedikitpun terdengar dari telinga kanan dan kiriku tentang dia. Ketika kuukir kata demi kata pada lembar putih di depanku, bersama rindu aku memadu. Sore ini, sore yang syahdu. Memandang temaram langit yang penuh tanya setelah beberapa jam memuntahkan tetes air bening dari seluruh asanya. Aku hanya terdiam dan memikirkan satu, Elok. Karya Tuhan Adiluhung yang kini, saat ini menaungi setiap dentum jantungku. Dia sosok manis dalam sangkar lebah di hatiku, manis sekali.

Elok. Hanya kata itu kuselipkan pada lembar putih di depan mataku. Kekosongan hati yang lama enggan berisi dengan keindahan dunia, berubah seketika ketika dia berusaha menarikku dengan sisi misteri agungnya. Aku tertarik. Dan masih elok hingga saat ini.

Sabda alam yang kini kuingin dengar, hanya ingin kulampiaskan pada indah mentari hatiku. Tapi entah, apakah rasa seagung ini benar adanya kusebut dengan Cinta. Aku hanya mampu mengelak, ah, sudahlah. Bukan ini cinta, hanya rasa nikmat semata.

Kutulis kata demi kata ini, seiring dengan diamnya rintik hujan. Langit berganti dengan sentuhan lembut mentari sore. Sang penyinar dunia berpindah di balik sisi bumi, malam tiba. Tabuh tabir masjid mengantarku pada parasnya yang pernah kusentuh, Elok. Aku membayangkan ketika jemarinya mengisi ruas di jari-jariku. aku hanya mampu membayangkan, dan hanya membayangkan. Malam menjemput dengan gelap. Di luar jendela kamarku masih terlihat sang Adi memuntahkan lava pijar, ia Merapi. Aku mampu berandai-andai, kuingin semangat dan rasa ini seperti lelehan asam-basa Merapi muda yang masih berenergi, menggerogoti setiap rongrongan hatinya, Sang Elok, namun nyatanya aku hanya abu vulkanik yang berterbangan mengikut arah angin. Aku bukan pijaran Merapi yang mampu meluluhlantakkan semua yang ingin dilewati, tapi aku abu vulkanik yang justru hinggap pada setiap yang aku lewati. Masalah. Ahh, aku klasik, belum mampu membiarkan masalah itu terbakar, malah justru kupupuk hingga subur.

Aku ini tak ingin seperti malam tanpa bintang, tapi apa daya jika mendung menyelimuti tubuhku yang mulai mendingin, membeku. Kuusir mendung itu, tapi justru semakin gelap dan pekat. Haruskah kukalahkan mendung dengan petir? Atau haruskah kutunggu hingga sang Fajar membantuku untuk bercahaya kembali? Getir di hati. Elok elok, mungkin aku hanya mampu memandangmu dari kejauhan tanpa memiliki indah paras dan keagunganmu. Yah, seperti gelembung sabun. Aku hanya bisas mengindahkanmu lewat mata, bukan kusentuh hingga pecah dan membasahi kulitku.

Aku sampaikan rindu ini padamu, Elok, pada permadani tidurku yang dingin tanpamu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar